BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyakit-penyakit
gizi di indonesia terutama tergolong kedalam kelompok penyakit defisiensi,
salah satu nya yaitu kurang energi dan protein, penyakit ini di kelompokkan
menjadi KEP primer dan sekunder. Ketiadaan pagan melatar belakangi terjadi nya
KEP primer yang mengakibatkan kekurangan asupan. Penyakit yang mengakibatkan
pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pagan, serta peningkatan
kebutuhan akan zat gizi dikatagorikan sebagai KEP sekunder.
1.2. Rumusan masalah
1. apa
pengertian KEP?
2. apa
saja macam-macam penyakit defisiensi KEP?
3. bagaimana
cara mendiagnosa seorang yang menderita penyakit KEP?
4. apa
yang menyebabkan terjadinya penyakit KEP?
5. apa
saja pengaruh KEP terhadap organ?
6. bagaimana
cara penanganan
penyakit KEP?
1.3. Tujuan
1. menjelaskan
cara mendiagnosisnKEP.
2. menjelaskan
penanganannya
penyakit KEP.
3. menjelaskan
penyakit penyerta pada KEP.
1.4. Manfaat
Bagi
pembuat makalah :
1. Menambah
wawasan pengetahuan tentang keshatan
2. Agar
dapat mengetahui cara penanggulana penyakit
Bagi
pembaca makalah :
1. Menambah
wawasan pengetahuan kesehatan bagi masyarakat
2. Supaya
lebih memperhatikan kesehatan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi KEP
Kurang
energi protein adalah keadanan dimana kurang gizi yang disebabkan karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi dan merupakan suatu
penyakit yang ditandai dengan
penyakit kelainan patologi yang diakibat kan oleh kurang energi dan protein dan energi baik secara kuantitatif
maupun kualitatif yang biasa nya berhubungan dengan infeksi.
Kurang
Kalori Protein atau (KKP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori,
protein, atau keduanya, tidak tercukupi. Kedua bentuk defisiensi ini tidak
jarang berjalan bersisian, meskipun salah
satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwarsiokor terjelma manakala
defisiensi lebih menampakan dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika
terjadi kekurangan energi yang parah.
Kurang
energi protein dikelompokkan menjadi KKP Primer dan Sekunder. Ketiadaan pangan
melatar belakangi KKP Primer yang
mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang mengakibatkan kekurangan
asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan (dan
atau kehilangan) akan zat gizi, dikategorikan sebagai KKP sekunder.
Keparahan
KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat tumbuh, sampai
ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang berkaitan dengan defisiensi
vitamin serta mineral.
Ada
4 faktor yang melatar belakangi
KKP, yaitu : masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan,
salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat
mukim yang berjalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidak mampuan mengakses fasilitas
kesehatan. Ketidak tahuan,
baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan
salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti
mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota
keluarga yang sedang sakit.
Hal
lain yang juga menumbuh suburkan
KKP dikalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam memberi ASI yang
kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Selain
itu, distribusi pangan dalam keluarga
terkesan masih timpang.
Tempat
tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi.
Prosedur penyimpangan hasil produksi pasca panen yang buruk mengakibatkan bahan
pangan cepat rusak. Bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah terbukti
mengganggu distribusi pangan.
Penyalahgunaan
anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran kaum lansia, kecanduan alkohol
dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai KKP. Selain itu budaya yang
menabukan makanan tertentu (terutama pada balita serta ibu hamil dan menyusui)
dan mengkonsumsi bahan bukan pangan akan memicu serta sekaligus melestarikan
KKP.
Komponen
biologi yang menjadi latarbelakang KKP antara lain, malnutrisi ibu, baik
sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi potein.
Seorang ibu yang mengalami KKP selama kurun waktu tertentu tersebut pada
gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan
pangan yang cukup, bayi KKP tersebut tidak akan mampu mengejar
ketertinggalannya, baik kekurangan berat selama dalam kandungan maupun setelah
lahir.
Penyakit
infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KKP. Penyakit diare,
campak, dan infeksi saluran napas kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit
saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan
penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan
proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat
gizi.
Kurang
kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan
anak yang sedang tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru
berusia kurang dari 1 tahun, sementara kwasiorkor cenderung menyerang setelah
mereka berusia kurang 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang lebih tua, kondisi
tersebut biasanya ringan karena mereka umumnya telah pandai “mencari makan”
sendiri. Remaja, dewasa muda (utamanya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak
menyusui, memiliki angka prevalensi paling rendah.
2.2. Pemyebab
penyakit KKP
Penyebab
langsung dari KKP adalah defiseinsi kalori maupun protein dengan berbagi
tekanan sehingga terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan
melahirkan klasifikasi klinik.
Penyebab tak langsung
dari KKP sangat banyak,sehingga penyakit ini di sebut juga sebagai penyakit
dengan causa multifaktorial. Berbagai faktor penyebab KKP dan antar hubungannya
sudah banyak di ajukan sebagai berbagai bentuk sistem holistik,yang
menggambarkan interelasi antar faktor dan menuju ke titik pusat KKP tersebut.
2.3.Pengaruh KKP terhadap beberapa
organ
2.3.1. Saluran Pencernaan
Malnutrisi
berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak lambung. Lapisan mukosa
terlihat disepanjang edema. Mukosa usus halus mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus lenyap, permmukaanya berubah
menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel,
indeks mitosis, kegiatan disakarida berkurang. Pada hewan percobaan, kemampuan
untuk mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu dan laju
penyerapan asam amino serta lemak
berkurang.
2.3.2. Pankreas
Malnutrisi
mengakibatkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan mengganggu fungsi
pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi pankreas bersama sama
dengan intoleransi disakarida akan menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang
selanjutnya berlanjut sebagai diare.
2.3.3. Hati
Pengaruh
malnutrisi pada hati bergantung pada lama serta jenis zat gizi yang berkurang.
Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali terkuras sehingga zat lemak
kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati. Manakala kelaparan terus berlanjut, hati
mengerut sementara kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah
hepatosit relatif tidak berubah.
Ukuran
hati penderita kwasiorkor membesar serta mengandung banyak glikogen. Infiltrasi
lemak merupakan gambaran menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan
trigliserida. Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi “retikulum
endoplasma halus”, sementara jumlah “retikulum endoplasma kasar” menurun.
Mekanisme bagaimana kedua hal ini terjadi belum di ketahui.
2.3.4. Ginjal
Meskipun
fungsi (agak) normal ginjal masih dapat dipertahankan, GFR (Gromerular
Filtration Rate) dan RPF (Renal Plasma Flow) telah terbukti menurun. Penelitian
di Minnesota membuktikan bahwa keadaan semikelaparan dapat mengakibatkan
poliuri (tampak jelas setelah 6 minggu kelaparan) dan nokturia. Gangguan
kemampuan untuk pemekatan urine diperkirakan sebagai akibat dari penurunan
jumlah urea dalam medula yang disertai penyusutan medullary osmolar gradient.
Pemeriksaan laboratorium urine berupa: berat jenis (BJ) rendah, ada sedikit
sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara protein tidak ada secara histologis,
tidak ada perubahan yang bermakna.
2.3.5. Sistem Hematologik
Perubahan
pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia, trombosittopenia,
pembentukan akan tosit, serta hipoplasia sel-sel sumsum tulang yang berkaitan
dengan transformasi substansi dasar, tempat nekrosis sering terlihat. Derajat
kelainan ini bergantung pada berat serta lamanya kekurangan kalori berlangsung.
Anemia
pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan tidak disertai dengan
retikulositosis meskipun cadangan zat besi adekuat. Penyebab anemia pasien yang
asupan proteinnya tidak adekuat ialah menurunnta sintesis eritopoietin,
sementara anemia pada mereka yang sama sekali tidak makan protein timbul karena
sistem sel dalam sumsum tulang tidak
berkembang, di samping sintesis eritropoietin juga menurun.
Malnutrisi
berat berkaitan dengan leukoenia dan hitung jenis yang normal. Morfologi
neutrofi juga kelihatan normal. Namun jika infeksi terjadi jumlah neutrofil
biasanya (namun tidak selalu) meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyatakan
sebagai hitung neutrofil tertinggi setelah 3-5 jam pemberian hidrokortison pada
malnutrisi juga berkurang, dan fungsinya tidak normal. Sebagai tambahan, jumlah
trombosit juga menurun.
2.3.6. Sistem Kardiovaskuler
Kondisi
semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak 24%, mengerutkan volume
jantung hingga 17% disamping menyebabkan bradikardia, hipotensi arterial ringan,
penurunan tekanan vena, konsumsi oksigen, stroke volume dan penurunan
curah jantung. Dampaknya adalah kerja
jantung menurun, penjenuhan (saturasi) oksigen vena dan kandungan oksigen
arterial berkurang.
2.3.7. Sistem Pernapasan
Hasil
otopsi penderita malnutrisi menunjukkan tanda-tanda yang menyiratkan bahwa
selama hidup mereka pernah terserang bronkitis, tuberculosis, serta pneumonia.
Kematian akibat biasanya terjadi berkaitan pneumonia. Penyakit ini terutama
disebabkan lenyapnya kekuatan otot perut, sela iga, bahu, dan diafragma.
Akibatnya, fungsi ventilasi terganggu, kemamouan untuk mengeluarkan dahak
menjadi rusak sehingga eksudat menumpuk dalam
bronkus. Keberadaan hipoproteinemia secara bersamaan mengakibatkan edema
interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi demikian memperberat fungsi ventilasi
yang telah terganggu.
2.4.
Diagnosis
Gambaran
klinis, biokimiawi, dan fisiologi KKP bervariasi dari orang-orang dan
bergantung pada keparahan KKP, usia penderita, ada atau tidaknya kekurangan
gizi zat lain, keberadaaan penyakit penyerta, dan kekurangan yang dominan
eneridan protein.
Keparahan
KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik, karena tanda dan gejala
klinis serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak mengalami perubahan,
terkecuali jika pnyakit ini telah sedemikian “parah”.
Klasifikasi
serta lamanya penyakit yang telah berlangsug juga ditentukan secara
antropometris. Riwayat pangan bermanfaat terutama dalam mengukur status gizi
orang dewasa. Defisit energi dan protein derajat ringan sampai sedang dinilai
terutama dengan riwayat kebiasaan pangan perorangan atau masyarakat, serta
ketersediaan pangan itu sendiri. Karakteristik klinis dan biokimiawi berguna
untuk pemastian diagnosis KKP berat. Parameter yang wajib diperiksa pada
penderita KKP tercantum dalam “Anamesis dam pemeriksaan fisik KKP pada anak”.
2.4.1. Penilaian Antropometris
Ukuran
antropometris bergantung pada kesederhanaan, ketepatan,kepekaan, serta
ketersediaan alat ukur; disamping keberadaaan nilai bahan baku acuan yang akan
digunakan sebagai pembanding. Jika nilai baku suatu negara (Indonesia) belum
tersedia, boleh digunakan baku Internasional. Pembolehan ini didasarkan pada
asumsi bahwa potensi tumbuh kembang-anak pada umunya serupa. Hubungan berbagai
ukuran antropometris (terutama berat dan tinggi badan) pada anak normal yang
sehat secara relatif mantap. Baku acuan ditunjukkan sebagai perbandingan semata,
bukan menggambar keidealan.
Tabel 1.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik KKP pada Anak
Dikutip dari
“Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Anamnesis
Ø
Diet yang lazim sebelum sakit
Ø
Riwayat pemberian ASI
Ø
Pangan dan cairan yang disanyap beberapa hari
sebelum sakit
Ø
Riwayat pencekungan mata
Ø
Lama dan frekuensi muntah atau diare;tampilan
muntahan dan tinja cair
Ø
Saat terakhir berkemih
Ø
Kontak dengan penderita Campak dan TBC
Ø
Riwayat kematian saudara kandung
Ø
Berat badan lahir
Ø
Riwayat perkembanagn fisik
Ø
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan
Fisik
Ø
Berat dan (panjang) tinggi badan
Ø
Edema
Ø
Pembesaran dan kenyerian hati
Ø
Pucat yang parah
Ø
Ketegangan perut,suara usus
Ø
Tanda kolaps sirkulasi;tangan dan kakai dingin,
denyut nadi radial lemah, kesadaran menurun
Ø
Suhu tubuh: hiportemia atau demam
Ø
Rasa haus
Ø
Mata: lesi kornea menandakan KVA
Ø
THT: tanda infeksi
Ø
Kulit adakah tanda infeksi atau purpura
Ø
Frekuensi dan jenis pernafasan; tanda pneumonia
atau gagal jantung
Ø
Tampilan Tinja
|
Interpretasi
perbandingan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan jika seseorang dipaksa
untuk memutuskan apakah nilai yang diharapkan itu harus 100%, atau 90%, atau
dengan proporsi lain lagi. Sekedar pembakuan WHO menganjurkan penggunaaan dari
NCHS sebagai acuan.
Penilaian
antropometris status gizi dan KKP didasarkan pada pengukuran berat dan tinggi
badan, serta usia. Data ini dipakai dalam menghitung 2 macam indeks, yaitu
indeks (1) berat terhadap tinggi badan yang diperuntukkan sebagai petunjuk
dalam penentuan status gizi sekarang; dan (2) tinggi terhadap usia yang
digunakan sebagai petunjuk keadaan gizi di masa lampau. Kekurangan tinggi
terhadap usia meriwayatkan satu masa ketika pertumbuhan tidak terjadi (gagal)
pada usia dini selama periode yang agak lama.
2.5.
Klasifikasi Kurang
Kalori Protein (KKP)
2.5.1. Gomez (1956)
Merupakan
orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokkan kasus kurang kalori
protein. Klasifikasi KKP menurut Gomez didasarkan pada berat badan terhadap
usia (BB/U). Berat anak yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat
anak seusia yang diharapkan pada baku acuan dengan menggunakan persentil ke 50
baku acuan Harvard. Berdasarkan sistem ini, KKP diklasifikasikan menjadi 3
tingkatan, yaitu derajat I, II, dan III (lihat tabel 2 : “klasifikasi KKP
menurut Gomez”).
Tabel
2. Klasifikasi KKP menurut Gomez
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Derajat
KKP
|
Berat
badan per usia (%)
|
(ringan)
(sedang)
(berat)
|
90-76
75-61
<
60
|
Sayang
sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan dengan kwasiorkor.
Akibatnya, anak yang mempunyai rasio berat badan terhadap usia sangat rendah tidak
termasuk sebagai penderita KKP karena anak yang kurus ini memiliki tinggi badan
yang rendah pula. Namun demikian, pengelompokkan KKP sebagai derajat I (75-90%
dari acuan berat terhadap usia), II (60-75%), dan III ( < 60%) sangat
berfaedah dalam penelitian epidemiologis dan kesehatan masyarakat karena
proporsi anak dimasyarakat yang suatu ketika dalam hidupnya pernah mengalami
KKP dapat ditentukan.
2.5.2. Jellife (1966)
Juga
menyusun klasifikasi berat terhadap usia, termasuk penggunaan buku acuan Harvard
dengan persentil ke-50. Bedanya Jellife
membagi KKP menjadi 4 tingkatan: I sampai dengan IV (lihat tabel 3).
Tabel
3. Klasifikasi KKP menurut Jellife
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Kategori
|
Berat
badan/usia (%)
|
KKP
I
KKP
II
KKP
III
KKP
IV
|
90-80
80-70
70-60
<
60
|
Dengan
klasifikasi Jellife, kwasiorkor dan marasmus masih belum dibedakan.
2.5.3.
Bengoa
(1970)
Mencoba
menengahi kedua pengelompokkan ini dengan memasukkan tanda edema, tanpa memandang
defisit berat badan. Menurut Bengoa KKP cukup dikategorikan menjadi 3 kategori
dan seluruh penderita yang menampakkan tanda edema dinilai sebagai KKP derajat
III (lihat tabel 4). Klasifikasi Bengoa masih menggunakan baku Harvard sebagai
acuan.
Tabel
4. Klasifikasi KKP menurut Bengoa
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Kategori
|
Berat
badan/usia (%)
|
KKP
I
KKP
II
KKP
III
|
90-76
74-61
Semua
penderita dengan endema
|
Hampir
sama seperti Gomez, Jellife, dan Bengoa, klasifikasi .
2.5.4. Wellcome (1970)
Mengacu pada baku Harvard. Bedanya
Wellcome, memasukkan parameter edema kedalam penilaian. Jika defisit berat
badan pada klasifikasi Bengoa tidak diperhatikan, Wellcome memasukkan indikator
ini kedalam komponen yang harus dinilai. Dengan demikian, perbedaan berbagai
tahapan kelainan status gizi tergambar jelas (lihat tabel 5).
Tabel
5. Klasifikasi KKP menurut Wellcome
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Tanda
yang ada
|
%
Berat baku
|
Edema
|
Defisit
BB/TB
|
Kurus
Pendek
Marasmus
Kwasiorkor
Marasmik
kwasiorkor
|
80-60
<
60
<
60
80-60
<
60
|
0
0
0
+
+
|
Minimal
Minimal
++
++
++
|
2.5.5. Waterlow (1973)
Menggunakan
indikator berat badan terhadap usia dan berat badan terhadap tinggi badan
meskipun masih mengacu pada baku Harvard. Waterlow mengelompokkan KKP menjadi 4
kelas, yaitu: normal, kurus, kurus dan pendek, serta pendek. Data seperti ini
penting karena pendekatan serta antisipasi lamanya terapi keduanya tidak sama.
Sebagai contoh, untuk menormalkan mereka yang kurus tidak memakan waktu lama,
sementara sebalikya menejar ketertinggalan pertumbuhan linier (kalau masih
dapat) memerlukan waktu cukup panjang (lihat tabel 6).
Tabel
6. Klasifikasi KKP menurut Waterlow
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Derajat kependekan
|
Derajat kekurusan (BB/TB)
|
|||
Persen (derajat) BB/U
|
> 90% (0)
|
80-90% (1)
|
70-80% (2)
|
< 70% (3)
|
> 90% (derajat 0)
|
NORMAL
|
KURUS
|
||
95-90% (derajat 1)
|
||||
85-90% (derajat 2)
|
PENDEK
|
KURUS-PENDEK
|
||
< 85% (derajat 3)
|
Departemen
Kesehatan RI (2000), berdasarkan Temu Pakar Gizi di Bogor tanggal 19-21 Januari
dan di Semarang tanggal 24-26 Mei tajun 2000, merekomendasikan baku WHO-NCHS
untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari sini klasifikasi
KKP kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah tinggi dan berat, sementara
penyajian indeks digunakan simpangan baku (lihat tabel 7).
Tabel
7. Klasifikasi KKP menurut DEPKES 2000
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Indeks
|
Simpangan
Baku
|
Status
Gizi
|
Berat
badan terhadap Usia (BB/U)
|
>2
SD
-2
SD sampai +2 SD
<-2
SD sampai -3 SD
<-3
SD
|
Gizi
lebih
Gizi
baik
Gizi
kurang
Gizi
kurang
|
Tinggi
terhadap Usia (TB/U)
|
Normal
Pendek
|
-2
SD sampai +2 SD
<-2
SD
|
Berat
badan terhadap tinggi (BB/TB)
|
>2
SD
-2
SD sampai +2 SD
<-2
SD sampai -3 SD
<-3
SD
|
Gemuk
Normal
Kurus
Sangat
kurus
|
Berlainan
dengan metode yang digunakan untuk menilai keadaan gizi anak, status gizi
remaja dan dewasa ditentukan dengan menggunakan indikator indeks masa tubuh
(body mass index/BMI).
Tabel
8. Klasifikasi KKP dewasa berdasarkan BMI
Dikutip
dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
BMI2)
|
Derajat
KKP
|
>18.5
17.0-18.4
16.0-16.9
<16.0
|
Normal
Ringan
Sedang
Berat
|
Indeks
masa tubuh, yaitu pembagian berat dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan
dalam meter, dianjurkan untuk mengukur status gizi remaja dan dewasa. Kriteria
yang dianjurkan oleh “International Working Party” terpapar dalam tabel 8.
Berdasarkan data pengukuran orang kulit putih dan berwarna di Amerika Serikat,
diagnosis KKP bai kaum remaja dibatasi <15, dan <16.5 untuk usia
masing-masing 11-13 dan 14-17 tahun.
2.6. Gejala /tanda-tanda KKP
Gambaran
klinis utama KKP ringan sampai sedang ialah penyusutan berat badan yang
disertai dengan penipisan jaringan lemak bawah kulit. Jika KKP berlangsung
menahun, pertumbuhan memanjang akan terhenti sehingga anak akan bertubuh
pendek. Kegiatan fisisk dan keluaran energi anak berkurang, disamping
berlangsung pula perubahan pada fungsi kekebalan, saluran pencernaan, dan
kebiasaan. Indikator terakhir tidak praktis digunakan sebagai butir diagnosi.
Perubahan komposisi tubuh yang mencolok pada orang dewasa ialah penyusutan jaringan
adiposa sebesar 12% (lelaki) sampai 20% (wanita). Kemampuan untuk melakukan
pekerjaan fisik yang berat dan berlangsung lama juga berkurang. Selain itu,
kemungkinan wanita KKP melahirkan bayi dengan berat lahir rendah lebih tinggi
ketimbang wanita normal.
2.7.
Manifestasi klinis
2.7.1. KKP berat tipe kwashiorkor :
·
Edema, umumnya seluruh tubuh dan umumnya
pada kaki ( dorsumpedis ) .
·
Wajah membulat dan sembab.
·
Pandangan mata sayu.
·
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut
jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit,rontok.
·
Perubahan status mental :cengeng,rewel dan
kadang apatis.
·
Pembesara hati.
·
Otot mengecil,lebih nyata bila diperiksa
pada posisi berdiri atau duduk .
·
Kelainan kulit berupa bercak merah muda
yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkupas.
·
Sering disertai :infeksi,anemia, dan diare.
2.7.2. KKP berat tipe marasmus
·
Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus
kulit.
·
Wajah seperti orang tua.
·
Cengeng,rewel.
·
Kulit kriput,jaringan lemak subkutis sangat
sedikit sampai tidak ada.
·
Perut cekung.
2.7.3.KKP berat tipe marasmik-kwashiorkor
2.8.
Penanganan penyakit KKP
Orang yang menderita KKP sangat di anjurkan dirawat di
rumah saja. Menginap di rumah sakit justru meningkatkan risiko infeksi silang,
sementara suasana yang berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan seseorang
merasa diasingkan.
Penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan
awal, dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang
mengancam jiwa, sementara fase rahabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan
gizi. Yang pertama saat pasien tiba dirumah sakit hingga kondisi pasien stabil
dan nafsu makan pulih. Fase ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari. Jika
lebih dari 10 hari keadaan pasien tidak juga pulih, berarti diperlukan upaya
tambahan.
Upaya pengobatan awal
meliputi
1. Pengobatan atau pencegahan terhadap hipoglikemia,
hipitermia, dehidrasi, dan pemulihan ketidakimbangan elektrolit
2. Pencegahan jika ada ancaman atau perkembangan renjatan
septik
3. Pengobatan infeksi
4. Pemberian makanan
5. Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti
kekurangan vitamin, anemia berat, dan payah jantung.
2.8.1.
Hipoglikemia
Penderita KKP berat
kemungkinan besar untuk jatuh kedalam kedalam hipoglikemia (kadar glukosa darah
<54 mg/dl atau <3 mmol/L ),terutama selama 2 hari pengobatan awal.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi sistemis yang serius,atau jika anak
dibiarkan tidak makan selama 4-6 jam,terutama sepanjang perjalanan dari rumah
kerumah sakit. Agar hipoglikemia tidak terjadi, anak harus diberi makan
sekurang-kurangnya setiap 2-3 jam,baik siang ataupun malam.
Tanda hipoglikemia :
1.
Temperature
tubuh kurang dari 36,5 0 C
2.
Lemas
3.
Kesadaran
berkurang
Jika tanda-tanda ini telah tampak, upaya pengobatan
harus segera di lakukan tanpa harus menanti hasil pemeriksaan laboratorium.
Semua
penderita hipoglikemia harus diberi antibiotika spectrum luas untuk mengobati
infeksi sistemis yang luas.
2.8.2.
Hipotermia
Hipotermia karap terjadi
pada bayi yang berusia kurang dari 12 bulan dan mereka yang menderita marasmus
dengan kerusakan kulit yang parah serta infeksi berat. Anak mesti dihangatkan
manakala suhu rektal terukur kurang dari 35,50C atau suhu ketiak
dibawah 350C. Semua anak yang yang mengalami hipotermia harus
diobati untuk hipoglikemia dan infeksi sistemik.
2.8.3.
Dehidrasi
dan ranjatan septik
Penegakan diagnosis
dehidrasi pada pasien yang menderita KKP berat sungguh sulit.
Tanda yang digunakan dalam menentukan diagnosis
dikelompokan menjadi 3,yaitu
1.
Tanda
yang bermakna
2.
Tidak
bermakna
3.
Tanda
renjatan septik
Tanda yang bermakna terungkap pada
·
Riwayat
diare
·
Rasa
haus
·
Hipotermia
·
Mata
cekung
·
Tangan
dan kaki terasa dingin
Tanda yang tidak bermakna dinilai berdasarkan
·
Keadaan
mental
·
Mulut,lidah,
dan air mata
·
Kelenturankulit
Anak dengan dihidrasi harus
mempunyai latar belakang diare berair. Tinja penderita KKP berat kerap
berlendir. Seseorang yang anak yang menunjukan tanda dehidrasi, namun tidak ada
riwayat diare berair, mesti diobati sebagai “renjatan septik”.
Bola mata yang cekung dapat
membantu pemeriksa mendiagnosis dehidrasi. Kelemahan atau hilangnya denyut nadi
pada arteri radialis menandakan terjadinya renjatan, abaik akibat dehidrasi
berat maupun sepsis. Jika denyut arteri karotis, femoris, dan brakial lemah
berarti anak tengah menunggu maut dan harus diobati dengan sangat segera.
Keadaan mental anak KKP
biasanya aptis jika dibiarkan sendiri, dan rewel jika didekati. Kesadaran
penderita akan lenyap secara progresif jika dehidrasi memburuk.
Tanda renjatan septik :
·
Ancaman
mengarah ke keadaan renjatan septik
·
Renjatan
septik yang tengah berlangsung.
Pengobatan dehidrasi
Proses
rehidrasi sabaiknya dilakukan secara oral karena pemberian per infus dapat
menyebabkan kelebihan cairan dan gagal ginjal. Pemberian secara perenteral
boleh diberlakukan hanya dalam keadaan renjatan (syok).
Cairan
rehidrasi oral harus mengandung lebih banyak kalium ketimbang natrium karena
penderita KKP berat selalu mengalami defisiensi kaliaum serta kelebihan natrium.
Rehidrasi
berhasil jika anak tidak lagi kehausan, sudah dapat berkemih, dan tanda
dehidrasi lain hilang. Agar anak tidak mengalami dehidrasi lagi, anak harus
tetap diberi minum. Sebagai patokan, jika anak berusia kurang dari 2 tahun,
berikan 50-100 cc cairan setiap kali diare sementara anak yang lebih besar
jumlahnya dua kali lipat.
Pengobatan renjatan septik
Semua
anak yang menderita KKP berat, yang menampakkan tanda renjatan septik, atau
baru tahap “ancaman” ke arah sana, harus diobati sebagai renjatan septis.
Mereka juga harus di beri antibiotika spectrum luas dan di hangatkan untuk
mencegah atau mengobati hipotermia. Anak-anak ini tidak perlu di mandikan.
Pengobatan dietetis
Makanan
formula sebaiknya segera diberikan pada anak manakala tidak terdeteksi
tanda-tanda gawat darurat, di samping melanjutkan pemberian air susu ibu.
Makanan formula untuk mereka sabaiknya berkadar rendah protein dan lemak,
tetapi mengandung karbohidrat dalam jumlah lebih besar.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi diatas dapat disimpilkan
bahwa KKP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi
dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi AKG. Setidaknya
ada 4 faktor yang menyebabkan KKP yaitu dalam masalah sosial, ekonomi , biologi, dan
lingkungan.
KKP
berat secara klinis terdapat 3 tipe yaitu kwashiorkor,marasmus, dan marasmik
dan kwashiorkor.
Penyakit
KKP ini berpengaruh terhadap beberapa organ diantaranya saluran pencernaan,
sistem kardiovaskular,sistem pernapasan,sistem hematologik,pankreas,hati dan
ginjal.
Sedangkan
Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik karena tanda dan gejala klinis,
serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menunjukkan perubahan
terkecuali penyakit ini sudah sedemikian parah. Klasifikasi serta lamanya
penyakit yang telah berlangsung juga ditentukan secara antropometris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar