Selasa, 11 Juni 2013

Kurang Energi Protein (KEP)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Penyakit-penyakit gizi di indonesia terutama tergolong kedalam kelompok penyakit defisiensi, salah satu nya yaitu kurang energi dan protein, penyakit ini di kelompokkan menjadi KEP primer dan sekunder. Ketiadaan pagan melatar belakangi terjadi nya KEP primer yang mengakibatkan kekurangan asupan. Penyakit yang mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pagan, serta peningkatan kebutuhan akan zat gizi dikatagorikan sebagai KEP sekunder.

1.2. Rumusan masalah
1.      apa pengertian KEP?
2.      apa saja macam-macam penyakit defisiensi KEP?
3.      bagaimana cara mendiagnosa seorang yang menderita penyakit KEP?
4.      apa yang menyebabkan terjadinya penyakit KEP?
5.      apa saja pengaruh KEP terhadap organ?
6.      bagaimana cara penanganan penyakit KEP?

1.3. Tujuan
1.      menjelaskan cara mendiagnosisnKEP.
2.      menjelaskan penanganannya penyakit KEP.
3.      menjelaskan penyakit penyerta pada KEP.

1.4. Manfaat
Bagi pembuat makalah :
1.      Menambah wawasan pengetahuan tentang keshatan
2.      Agar dapat mengetahui cara penanggulana penyakit
Bagi pembaca makalah :
1.      Menambah wawasan pengetahuan kesehatan bagi masyarakat
2.      Supaya lebih memperhatikan kesehatan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi KEP
Kurang energi protein adalah keadanan dimana kurang gizi yang disebabkan karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi dan merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan penyakit kelainan patologi yang diakibat kan oleh kurang energi dan protein dan energi baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang biasa nya berhubungan dengan infeksi.
Kurang Kalori Protein atau (KKP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian,  meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwarsiokor terjelma manakala defisiensi lebih menampakan dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah.
Kurang energi protein dikelompokkan menjadi KKP Primer dan Sekunder. Ketiadaan pangan melatar belakangi KKP Primer yang mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang mengakibatkan kekurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan (dan atau kehilangan) akan zat gizi, dikategorikan sebagai KKP sekunder.
Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang berkaitan dengan defisiensi vitamin serta mineral.
Ada 4 faktor yang melatar belakangi KKP, yaitu : masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidak mampuan mengakses fasilitas kesehatan. Ketidak tahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga yang sedang sakit.

Hal lain yang juga menumbuh suburkan KKP dikalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam  keluarga terkesan masih timpang.
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpangan hasil produksi pasca panen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi pangan.
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran kaum lansia, kecanduan alkohol dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai KKP. Selain itu budaya yang menabukan makanan tertentu (terutama pada balita serta ibu hamil dan menyusui) dan mengkonsumsi bahan bukan pangan akan memicu serta sekaligus melestarikan KKP.
Komponen biologi yang menjadi latarbelakang KKP antara lain, malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi potein. Seorang ibu yang mengalami KKP selama kurun waktu tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KKP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat selama dalam kandungan maupun setelah lahir.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KKP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran napas kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat gizi.
Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan anak yang sedang tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara kwasiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia kurang 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan karena mereka umumnya telah pandai “mencari makan” sendiri. Remaja, dewasa muda (utamanya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak menyusui, memiliki angka prevalensi paling rendah.





2.2. Pemyebab penyakit KKP
            Penyebab langsung dari KKP adalah defiseinsi kalori maupun protein dengan berbagi tekanan sehingga terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik.
Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak,sehingga penyakit ini di sebut juga sebagai penyakit dengan causa multifaktorial. Berbagai faktor penyebab KKP dan antar hubungannya sudah banyak di ajukan sebagai berbagai bentuk sistem holistik,yang menggambarkan interelasi antar faktor dan menuju ke titik pusat KKP tersebut.
2.3.Pengaruh KKP terhadap beberapa organ
2.3.1. Saluran Pencernaan
Malnutrisi berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak lambung. Lapisan mukosa terlihat disepanjang edema. Mukosa usus halus mengalami atrofi. Vili  pada mukosa usus lenyap, permmukaanya berubah menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel, indeks mitosis, kegiatan disakarida berkurang. Pada hewan percobaan, kemampuan untuk mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu dan laju penyerapan asam amino  serta lemak berkurang.

2.3.2. Pankreas
Malnutrisi mengakibatkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan mengganggu fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi pankreas bersama sama dengan intoleransi disakarida akan menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut sebagai diare.

2.3.3. Hati
Pengaruh malnutrisi pada hati bergantung pada lama serta jenis zat gizi yang berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali terkuras sehingga zat lemak kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati. Manakala kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah hepatosit relatif tidak berubah.
Ukuran hati penderita kwasiorkor membesar serta mengandung banyak glikogen. Infiltrasi lemak merupakan gambaran menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan trigliserida. Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi “retikulum endoplasma halus”, sementara jumlah “retikulum endoplasma kasar” menurun. Mekanisme bagaimana kedua hal ini terjadi belum di ketahui.
2.3.4. Ginjal
Meskipun fungsi (agak) normal ginjal masih dapat dipertahankan, GFR (Gromerular Filtration Rate) dan RPF (Renal Plasma Flow) telah terbukti menurun. Penelitian di Minnesota membuktikan bahwa keadaan semikelaparan dapat mengakibatkan poliuri (tampak jelas setelah 6 minggu kelaparan) dan nokturia. Gangguan kemampuan untuk pemekatan urine diperkirakan sebagai akibat dari penurunan jumlah urea dalam medula yang disertai penyusutan medullary osmolar gradient. Pemeriksaan laboratorium urine berupa: berat jenis (BJ) rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara protein tidak ada secara histologis, tidak ada perubahan yang bermakna.

2.3.5. Sistem Hematologik
Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia, trombosittopenia, pembentukan akan tosit, serta hipoplasia sel-sel sumsum tulang yang berkaitan dengan transformasi substansi dasar, tempat nekrosis sering terlihat. Derajat kelainan ini bergantung pada berat serta lamanya kekurangan kalori berlangsung.
Anemia pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan tidak disertai dengan retikulositosis meskipun cadangan zat besi adekuat. Penyebab anemia pasien yang asupan proteinnya tidak adekuat ialah menurunnta sintesis eritopoietin, sementara anemia pada mereka yang sama sekali tidak makan protein timbul karena sistem sel dalam sumsum  tulang tidak berkembang, di samping sintesis eritropoietin juga menurun.
Malnutrisi berat berkaitan dengan leukoenia dan hitung jenis yang normal. Morfologi neutrofi juga kelihatan normal. Namun jika infeksi terjadi jumlah neutrofil biasanya (namun tidak selalu) meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyatakan sebagai hitung neutrofil tertinggi setelah 3-5 jam pemberian hidrokortison pada malnutrisi juga berkurang, dan fungsinya tidak normal. Sebagai tambahan, jumlah trombosit juga menurun.

2.3.6. Sistem Kardiovaskuler
Kondisi semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak 24%, mengerutkan volume jantung hingga 17% disamping menyebabkan bradikardia, hipotensi arterial ringan, penurunan tekanan vena, konsumsi oksigen, stroke volume dan penurunan curah  jantung. Dampaknya adalah kerja jantung menurun, penjenuhan (saturasi) oksigen vena dan kandungan oksigen arterial berkurang.

2.3.7. Sistem Pernapasan
Hasil otopsi penderita malnutrisi menunjukkan tanda-tanda yang menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronkitis, tuberculosis, serta pneumonia. Kematian akibat biasanya terjadi berkaitan pneumonia. Penyakit ini terutama disebabkan lenyapnya kekuatan otot perut, sela iga, bahu, dan diafragma. Akibatnya, fungsi ventilasi terganggu, kemamouan untuk mengeluarkan dahak menjadi rusak sehingga eksudat menumpuk dalam  bronkus. Keberadaan hipoproteinemia secara bersamaan mengakibatkan edema interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi demikian memperberat fungsi ventilasi yang telah terganggu.

2.4. Diagnosis
Gambaran klinis, biokimiawi, dan fisiologi KKP bervariasi dari orang-orang dan bergantung pada keparahan KKP, usia penderita, ada atau tidaknya kekurangan gizi zat lain, keberadaaan penyakit penyerta, dan kekurangan yang dominan eneridan protein.
Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik, karena tanda dan gejala klinis serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak mengalami perubahan, terkecuali jika pnyakit ini telah sedemikian “parah”.
Klasifikasi serta lamanya penyakit yang telah berlangsug juga ditentukan secara antropometris. Riwayat pangan bermanfaat terutama dalam mengukur status gizi orang dewasa. Defisit energi dan protein derajat ringan sampai sedang dinilai terutama dengan riwayat kebiasaan pangan perorangan atau masyarakat, serta ketersediaan pangan itu sendiri. Karakteristik klinis dan biokimiawi berguna untuk pemastian diagnosis KKP berat. Parameter yang wajib diperiksa pada penderita KKP tercantum dalam “Anamesis dam pemeriksaan fisik KKP pada anak”.

2.4.1. Penilaian Antropometris
Ukuran antropometris bergantung pada kesederhanaan, ketepatan,kepekaan, serta ketersediaan alat ukur; disamping keberadaaan nilai bahan baku acuan yang akan digunakan sebagai pembanding. Jika nilai baku suatu negara (Indonesia) belum tersedia, boleh digunakan baku Internasional. Pembolehan ini didasarkan pada asumsi bahwa potensi tumbuh kembang-anak pada umunya serupa. Hubungan berbagai ukuran antropometris (terutama berat dan tinggi badan) pada anak normal yang sehat secara relatif mantap. Baku acuan ditunjukkan sebagai perbandingan semata, bukan menggambar keidealan.

Tabel 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik KKP pada Anak
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Anamnesis
Ø  Diet yang lazim sebelum sakit
Ø  Riwayat pemberian ASI
Ø  Pangan dan cairan yang disanyap beberapa hari sebelum sakit
Ø  Riwayat pencekungan mata
Ø  Lama dan frekuensi muntah atau diare;tampilan muntahan dan tinja cair
Ø  Saat terakhir berkemih
Ø  Kontak dengan penderita Campak dan TBC
Ø  Riwayat kematian saudara kandung
Ø  Berat badan lahir
Ø  Riwayat perkembanagn fisik
Ø  Riwayat imunisasi

Pemeriksaan Fisik
Ø  Berat dan (panjang) tinggi badan
Ø  Edema
Ø  Pembesaran dan kenyerian hati
Ø  Pucat yang parah
Ø  Ketegangan perut,suara usus
Ø  Tanda kolaps sirkulasi;tangan dan kakai dingin, denyut nadi radial lemah, kesadaran menurun
Ø  Suhu tubuh: hiportemia atau demam
Ø  Rasa haus
Ø  Mata: lesi kornea menandakan KVA
Ø  THT: tanda infeksi
Ø  Kulit adakah tanda infeksi atau purpura
Ø  Frekuensi dan jenis pernafasan; tanda pneumonia atau gagal jantung
Ø  Tampilan Tinja


Interpretasi perbandingan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan jika seseorang dipaksa untuk memutuskan apakah nilai yang diharapkan itu harus 100%, atau 90%, atau dengan proporsi lain lagi. Sekedar pembakuan WHO menganjurkan penggunaaan dari NCHS sebagai acuan.
Penilaian antropometris status gizi dan KKP didasarkan pada pengukuran berat dan tinggi badan, serta usia. Data ini dipakai dalam menghitung 2 macam indeks, yaitu indeks (1) berat terhadap tinggi badan yang diperuntukkan sebagai petunjuk dalam penentuan status gizi sekarang; dan (2) tinggi terhadap usia yang digunakan sebagai petunjuk keadaan gizi di masa lampau. Kekurangan tinggi terhadap usia meriwayatkan satu masa ketika pertumbuhan tidak terjadi (gagal) pada usia dini selama periode yang agak lama.

2.5. Klasifikasi Kurang Kalori Protein (KKP)
2.5.1. Gomez (1956)
Merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokkan kasus kurang kalori protein. Klasifikasi KKP menurut Gomez didasarkan pada berat badan terhadap usia (BB/U). Berat anak yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia yang diharapkan pada baku acuan dengan menggunakan persentil ke 50 baku acuan Harvard. Berdasarkan sistem ini, KKP diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu derajat I, II, dan III (lihat tabel 2 : “klasifikasi KKP menurut Gomez”).
Tabel 2. Klasifikasi KKP menurut Gomez
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Derajat KKP
Berat badan per usia (%)
(ringan)
(sedang)
(berat)
90-76
75-61
< 60


Sayang sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan dengan kwasiorkor. Akibatnya, anak yang mempunyai rasio berat badan terhadap usia sangat rendah tidak termasuk sebagai penderita KKP karena anak yang kurus ini memiliki tinggi badan yang rendah pula. Namun demikian, pengelompokkan KKP sebagai derajat I (75-90% dari acuan berat terhadap usia), II (60-75%), dan III ( < 60%) sangat berfaedah dalam penelitian epidemiologis dan kesehatan masyarakat karena proporsi anak dimasyarakat yang suatu ketika dalam hidupnya pernah mengalami KKP dapat ditentukan.

2.5.2. Jellife (1966)
Juga menyusun klasifikasi berat terhadap usia, termasuk penggunaan buku acuan Harvard dengan persentil ke-50. Bedanya Jellife  membagi KKP menjadi 4 tingkatan: I sampai dengan IV  (lihat tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi KKP menurut Jellife
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Kategori
Berat badan/usia (%)
KKP I
KKP II
KKP III
KKP IV
90-80
80-70
70-60
< 60
Dengan klasifikasi Jellife, kwasiorkor dan marasmus masih belum dibedakan.

 2.5.3. Bengoa (1970)
Mencoba menengahi kedua pengelompokkan ini dengan memasukkan tanda edema, tanpa memandang defisit berat badan. Menurut Bengoa KKP cukup dikategorikan menjadi 3 kategori dan seluruh penderita yang menampakkan tanda edema dinilai sebagai KKP derajat III (lihat tabel 4). Klasifikasi Bengoa masih menggunakan baku Harvard sebagai acuan.
Tabel 4. Klasifikasi KKP menurut Bengoa
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Kategori
Berat badan/usia (%)
KKP I
KKP II
KKP III
90-76
74-61
Semua penderita dengan endema
Hampir sama seperti Gomez, Jellife, dan Bengoa, klasifikasi .

2.5.4. Wellcome (1970)
 Mengacu pada baku Harvard. Bedanya Wellcome, memasukkan parameter edema kedalam penilaian. Jika defisit berat badan pada klasifikasi Bengoa tidak diperhatikan, Wellcome memasukkan indikator ini kedalam komponen yang harus dinilai. Dengan demikian, perbedaan berbagai tahapan kelainan status gizi tergambar jelas (lihat tabel 5).




Tabel 5. Klasifikasi KKP menurut Wellcome
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Tanda yang ada
% Berat baku
Edema
Defisit BB/TB
Kurus
Pendek
Marasmus
Kwasiorkor
Marasmik kwasiorkor
80-60
< 60
< 60
80-60
< 60
0
0
0
+
+
Minimal
Minimal
++
++
++

2.5.5.  Waterlow (1973)
Menggunakan indikator berat badan terhadap usia dan berat badan terhadap tinggi badan meskipun masih mengacu pada baku Harvard. Waterlow mengelompokkan KKP menjadi 4 kelas, yaitu: normal, kurus, kurus dan pendek, serta pendek. Data seperti ini penting karena pendekatan serta antisipasi lamanya terapi keduanya tidak sama. Sebagai contoh, untuk menormalkan mereka yang kurus tidak memakan waktu lama, sementara sebalikya menejar ketertinggalan pertumbuhan linier (kalau masih dapat) memerlukan waktu cukup panjang (lihat tabel 6).















Tabel 6. Klasifikasi KKP menurut Waterlow
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Derajat kependekan
Derajat kekurusan (BB/TB)
Persen (derajat) BB/U
> 90% (0)
80-90% (1)
70-80% (2)
< 70% (3)
> 90% (derajat 0)
NORMAL
KURUS
95-90% (derajat 1)
85-90% (derajat 2)
PENDEK
KURUS-PENDEK
< 85% (derajat 3)

Departemen Kesehatan RI (2000), berdasarkan Temu Pakar Gizi di Bogor tanggal 19-21 Januari dan di Semarang tanggal 24-26 Mei tajun 2000, merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari sini klasifikasi KKP kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah tinggi dan berat, sementara penyajian indeks digunakan simpangan baku (lihat tabel 7).

 
Tabel 7. Klasifikasi KKP menurut DEPKES 2000
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

Indeks
Simpangan Baku
Status Gizi
Berat badan terhadap Usia (BB/U)
>2 SD
-2 SD sampai +2 SD
<-2 SD sampai -3 SD
<-3 SD
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi kurang
Tinggi terhadap Usia (TB/U)
Normal
Pendek
-2 SD sampai +2 SD
<-2 SD
Berat badan terhadap tinggi (BB/TB)
>2 SD
-2 SD sampai +2 SD
<-2 SD sampai -3 SD
<-3 SD
Gemuk
Normal
Kurus
Sangat kurus

Berlainan dengan metode yang digunakan untuk menilai keadaan gizi anak, status gizi remaja dan dewasa ditentukan dengan menggunakan indikator indeks masa tubuh (body mass index/BMI).
Tabel 8. Klasifikasi KKP dewasa berdasarkan BMI
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007

BMI2)
Derajat KKP
>18.5
17.0-18.4
16.0-16.9
<16.0
Normal
Ringan
Sedang
Berat

Indeks masa tubuh, yaitu pembagian berat dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter, dianjurkan untuk mengukur status gizi remaja dan dewasa. Kriteria yang dianjurkan oleh “International Working Party” terpapar dalam tabel 8. Berdasarkan data pengukuran orang kulit putih dan berwarna di Amerika Serikat, diagnosis KKP bai kaum remaja dibatasi <15, dan <16.5 untuk usia masing-masing 11-13 dan 14-17 tahun.

2.6. Gejala /tanda-tanda KKP
Gambaran klinis utama KKP ringan sampai sedang ialah penyusutan berat badan yang disertai dengan penipisan jaringan lemak bawah kulit. Jika KKP berlangsung menahun, pertumbuhan memanjang akan terhenti sehingga anak akan bertubuh pendek. Kegiatan fisisk dan keluaran energi anak berkurang, disamping berlangsung pula perubahan pada fungsi kekebalan, saluran pencernaan, dan kebiasaan. Indikator terakhir tidak praktis digunakan sebagai butir diagnosi. Perubahan komposisi tubuh yang mencolok pada orang dewasa ialah penyusutan jaringan adiposa sebesar 12% (lelaki) sampai 20% (wanita). Kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik yang berat dan berlangsung lama juga berkurang. Selain itu, kemungkinan wanita KKP melahirkan bayi dengan berat lahir rendah lebih tinggi ketimbang wanita normal.

2.7. Manifestasi klinis
2.7.1. KKP berat tipe kwashiorkor :
·         Edema, umumnya seluruh tubuh dan umumnya pada kaki ( dorsumpedis ) .
·         Wajah membulat dan sembab.
·         Pandangan mata sayu.
·         Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit,rontok.
·         Perubahan status mental :cengeng,rewel dan kadang  apatis.
·         Pembesara hati.
·         Otot mengecil,lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau  duduk .
·         Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkupas.
·         Sering disertai :infeksi,anemia, dan diare.

2.7.2. KKP berat tipe marasmus
·         Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit.
·         Wajah seperti orang tua.
·         Cengeng,rewel.
·         Kulit kriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
·         Perut cekung.
2.7.3.KKP berat tipe marasmik-kwashiorkor
                Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus.

2.8.                                      Penanganan penyakit KKP
            Orang yang menderita KKP sangat di anjurkan dirawat di rumah saja. Menginap di rumah sakit justru meningkatkan risiko infeksi silang, sementara suasana yang berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan seseorang merasa diasingkan.
Penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal, dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rahabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi. Yang pertama saat pasien tiba dirumah sakit hingga kondisi pasien stabil dan nafsu makan pulih. Fase ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari. Jika lebih dari 10 hari keadaan pasien tidak juga pulih, berarti diperlukan upaya tambahan.
Upaya pengobatan awal meliputi
1.      Pengobatan atau pencegahan terhadap hipoglikemia, hipitermia, dehidrasi, dan pemulihan ketidakimbangan elektrolit
2.      Pencegahan jika ada ancaman atau perkembangan renjatan septik
3.      Pengobatan infeksi
4.      Pemberian makanan
5.      Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti kekurangan vitamin, anemia berat, dan payah jantung.
2.8.1.      Hipoglikemia
Penderita KKP berat kemungkinan besar untuk jatuh kedalam kedalam hipoglikemia (kadar glukosa darah <54 mg/dl atau <3 mmol/L ),terutama selama 2 hari pengobatan awal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi sistemis yang serius,atau jika anak dibiarkan tidak makan selama 4-6 jam,terutama sepanjang perjalanan dari rumah kerumah sakit. Agar hipoglikemia tidak terjadi, anak harus diberi makan sekurang-kurangnya setiap 2-3 jam,baik siang ataupun malam.
Tanda hipoglikemia :
1.      Temperature tubuh kurang dari 36,5 0 C
2.      Lemas
3.      Kesadaran berkurang
Jika tanda-tanda ini telah tampak, upaya pengobatan harus segera di lakukan tanpa harus menanti hasil pemeriksaan laboratorium.
            Semua penderita hipoglikemia harus diberi antibiotika spectrum luas untuk mengobati infeksi sistemis yang luas.

2.8.2.      Hipotermia
Hipotermia karap terjadi pada bayi yang berusia kurang dari 12 bulan dan mereka yang menderita marasmus dengan kerusakan kulit yang parah serta infeksi berat. Anak mesti dihangatkan manakala suhu rektal terukur kurang dari 35,50C atau suhu ketiak dibawah 350C. Semua anak yang yang mengalami hipotermia harus diobati untuk hipoglikemia dan infeksi sistemik.

2.8.3.      Dehidrasi dan ranjatan septik
Penegakan diagnosis dehidrasi pada pasien yang menderita KKP berat sungguh sulit.
Tanda yang digunakan dalam menentukan diagnosis dikelompokan menjadi 3,yaitu          
1.      Tanda yang bermakna
2.      Tidak bermakna
3.      Tanda renjatan septik
Tanda yang bermakna terungkap pada
·         Riwayat diare
·         Rasa haus
·         Hipotermia
·         Mata cekung
·         Tangan dan kaki terasa dingin
Tanda yang tidak bermakna dinilai berdasarkan
·         Keadaan mental
·         Mulut,lidah, dan air mata
·         Kelenturankulit

Anak dengan dihidrasi harus mempunyai latar belakang diare berair. Tinja penderita KKP berat kerap berlendir. Seseorang yang anak yang menunjukan tanda dehidrasi, namun tidak ada riwayat diare berair, mesti diobati sebagai “renjatan septik”.
Bola mata yang cekung dapat membantu pemeriksa mendiagnosis dehidrasi. Kelemahan atau hilangnya denyut nadi pada arteri radialis menandakan terjadinya renjatan, abaik akibat dehidrasi berat maupun sepsis. Jika denyut arteri karotis, femoris, dan brakial lemah berarti anak tengah menunggu maut dan harus diobati dengan sangat segera.
Keadaan mental anak KKP biasanya aptis jika dibiarkan sendiri, dan rewel jika didekati. Kesadaran penderita akan lenyap secara progresif jika dehidrasi memburuk.
Tanda renjatan septik :
·         Ancaman mengarah ke keadaan renjatan septik
·         Renjatan septik yang tengah berlangsung.

Pengobatan dehidrasi
            Proses rehidrasi sabaiknya dilakukan secara oral karena pemberian per infus dapat menyebabkan kelebihan cairan dan gagal ginjal. Pemberian secara perenteral boleh diberlakukan hanya dalam keadaan renjatan (syok).
            Cairan rehidrasi oral harus mengandung lebih banyak kalium ketimbang natrium karena penderita KKP berat selalu mengalami defisiensi kaliaum serta kelebihan natrium.
            Rehidrasi berhasil jika anak tidak lagi kehausan, sudah dapat berkemih, dan tanda dehidrasi lain hilang. Agar anak tidak mengalami dehidrasi lagi, anak harus tetap diberi minum. Sebagai patokan, jika anak berusia kurang dari 2 tahun, berikan 50-100 cc cairan setiap kali diare sementara anak yang lebih besar jumlahnya dua kali lipat.

Pengobatan renjatan septik
            Semua anak yang menderita KKP berat, yang menampakkan tanda renjatan septik, atau baru tahap “ancaman” ke arah sana, harus diobati sebagai renjatan septis. Mereka juga harus di beri antibiotika spectrum luas dan di hangatkan untuk mencegah atau mengobati hipotermia. Anak-anak ini tidak perlu di mandikan.

Pengobatan dietetis
            Makanan formula sebaiknya segera diberikan pada anak manakala tidak terdeteksi tanda-tanda gawat darurat, di samping melanjutkan pemberian air susu ibu. Makanan formula untuk mereka sabaiknya berkadar rendah protein dan lemak, tetapi mengandung karbohidrat dalam jumlah lebih besar.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Dari materi diatas dapat disimpilkan bahwa KKP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi AKG. Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan KKP yaitu dalam masalah sosial, ekonomi , biologi, dan lingkungan.
KKP berat secara klinis terdapat 3 tipe yaitu kwashiorkor,marasmus, dan marasmik dan kwashiorkor.
Penyakit KKP ini berpengaruh terhadap beberapa organ diantaranya saluran pencernaan, sistem kardiovaskular,sistem pernapasan,sistem hematologik,pankreas,hati dan ginjal.
Sedangkan Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik karena tanda dan gejala klinis, serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menunjukkan perubahan terkecuali penyakit ini sudah sedemikian parah. Klasifikasi serta lamanya penyakit yang telah berlangsung juga ditentukan secara antropometris.

Tidak ada komentar: